Fenomena startup PHK massal terjadi belakangan ini. Banyak yang menyebutnya sebagai bubble burst atau ledakan gelembung pada industri startup.
Misalnya saja ketiga startup yang sudah cukup besar seperti JD.ID, Link Aja, dan Zenius. Ketiganya disebut melakukan rekonstruksi organisasi dengan mengakhiri kontrak kerja sekitar 200 karyawan.
Tidak heran jika fenomena ini menjadi ketakutan tersendiri bagi pekerja maupun penggiat startup di Indonesia.
Padahal sebelumnya startup menjadi impian berkarier bagi banyak orang karena dianggap sebagai perusahaan modern yang mengedepankan fleksibilitas serta bergaya anak muda.
Namun benarkah fenomena bubble burst ini menjadi akhir dari kejayaan startup di Indonesia?
Penyebab Startup PHK Massal
Situs Katadata mencatat, Indonesia mempunyai 2.346 startup selama tahun 2022. Model bisnisnya pun beragam, mulai dari B2C hingga B2B.
Sebagai perusahaan baru, startup memiliki keunikan tersendiri dalam mengembangkan bisnisnya. Tidak sedikit startup yang menggunakan metode burning money untuk dapat mendominasi pasar serta menggaet customer sebanyak-banyaknya.
Cara ini memang bisa dikatakan ampuh dengan banyaknya customer yang memilih produk tertentu setelah diiming-imingi oleh diskon dan promo besar-besaran. Namun di sisi lain, penggunaan metode burning money justru menciptakan ekosistem yang tidak sehat, di mana tidak adanya loyal customer yang dapat bertahan tanpa adanya promo.
Dengan menjalankan metode ini bertahun-tahun, tidak sedikit startup yang mulai kehabisan dana operasional sehingga harus melakukan penyesuaian. Tentu saja ini termasuk melakukan rekonstruksi organisasi untuk menjadi lebih efisien melalui gerakan startup PHK massal.
(Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi Digital Melalui Startup Diprediksi Naik 20% Pada 2025)
Di sisi lain, makro ekonomi secara global juga menjadi penyebab kuat startup PHK karyawannya secara sepihak. Pasalnya Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve merencanakan untuk menaikkan suku bunga hingga 2,75% sampai akhir tahun 2022. Rencana ini membuat para investor menjadi lebih selektif dan ketat dalam menentukan kemana dana investasi akan dikucurkan.
Dilansir dari IDX Channel, Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudistira menyatakan bahwa makro ekonomi saat ini mengalami ketidakpastian sehingga investasi risiko tinggi seperti startup menjadi pilihan yang dihindari.
Dalam sebuah wawancara yang dilakukan CNN Indonesia, CEO Power Commerce Asia, Hadi Kuncoro juga turut mengemukakan pendapatnya perihal ini melalui data dimiliki.
“Telah terjadi perubahan perilaku market dalam memilih metode offline dan online. Data mencatat selama periode Ramadan 2022 hingga saat ini, terjadi perubahan di mana 60% masyarakat di Indonesia kembali dalam euforia offline, 20% lainnya masih tetap menyukai online, 20% sisanya memilih hybrid.”
Tidak hanya disebabkan oleh suku bunga yang naik, kondisi sosial politik juga semakin memperparah kondisi moneter secara global. Masih dari sumber yang sama, CNN Indonesia, terganggunya pasokan rantai makanan dari Tiongkok akibat Covid-19 serta perang antara Rusia dan Ukraina semakin memperparah kondisi ekonomi dunia.
(Baca juga: PowerCommerce Asia Lebarkan Sayap Digitalisasi Indonesia Bersama ESQ Net)
Bukan hanya startup yang harus ketar-ketir perihal pendanaan dan stabilitas operasional, perusahaan konvensional besar seperti Unilever dan Ramayana pun tidak lepas dari ketidakpastian bisnis dan terpaksa melakukan efisiensi.
Masih dalam sesi interview yang sama, Hadi Kuncoro menambahkan bahwa, “Kedepannya integrasi digital antara offline dan online perlu dilakukan agar perkembangan ekonomi dapat bangkit, para founder startup sebaiknya mulai memikirkan strategi bisnis baru guna beradaptasi dengan kondisi baru serta memikirkan fundamental bisnis dan tidak hanya mengejar valuasi.” (PCA/Nanda)